Foto/Ilustrasi   

nusakini.com - Banyak generasi muda yang terpincut program percepatan jagung yang diusung Kementerian Pertanian (Kementan). Petani asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Burhanuddin (36), misalnya.

“Tertarik, karena lahan saya bisa diolah. Kalau enggak, bisa menganggur,” ujarnya saat ditemui di Kendari, Sultra, Kamis (3/8/2017) lalu.

Sebelum menanam jagung, Burhan memanfaatkan lahannya untuk ditanami jahe, lantaran tergiur dengan iming-iming sebuah perusahaan minuman kesehatan yang berani menjual hasil panen dengan harga mahal.

Sayangnya, harga jahe justru anjlok. Padahal, ongkos produksi untuk menanam jahe cukup tinggi dan masa tanamnya bisa mencapai 8-12 bulan.

“Untuk panen juga butuh biaya lagi yang enggak sedikit,” ungkapnya. Karena itu, jahe yang telah ditanam di lahan seluas 2,5 hektare miliknya dibiarkan begitu saja.

Mengetahui Kementan tengah menggalakkan tanaman jagung, Burhan pun kembali bersemangat untuk kembali mengolah lahannya.

Mula-mula, dirinya menerima bantuan berupa benih jagung hibrida dan ditanamnya di lahan seluas 4 ha.

Saat musim panen, meski jumlah produksi tak sesuai ekspektasi, karena hanya menghasilkan 3-5 ton/ha, dan mengeluarkan biaya sendiri untuk menanam jagung, namun omzet yang diperolehnya cukup menggiurkan.

“Omzet lumayan, walau tak capai target. Puas saya. Mudah-mudahan nanti satu ha panennya 10 ton,” ucap petani kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan ini.

Beberapa komponen pengeluaran yang harus dibiayai dengan kocek pribadi Burhan kala itu ialah pupuk dan sewa traktor yang sekitar Rp2 jutaan hingga siap taham per hektare.

Dia harus menggunakan uang sendiri untuk memproduksi jagung, karena saat kali pertama dirinya belum tergabung dengan kelompok tani. Sedangkan bantuan dari pemerintah disalurkan melalui kelompok.

Burhan juga tak perlu bersusah payah untuk menjual jagung yang hasil panen. Ibarat gula, banyak para pembeli yang langsung mendatanginya.

“Kemarin belum panen, sudah ada yang siap beli,” katanya.

Bukan cuma Burhan yang tergiur dengan kebijakan Kementan era Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tersebut. Sejumlah petani di Desa Tirta Matani, Kecamatan Buke, Kendari Selatan juga terpincut menanam jagung.

“Sekarang banyak petani menggarap lahan tidur, karena lihat saya. Soalnya, tanahnya subur di sana. Mereka minta bibit dan bikin kelompok. Sekarang sudah standby bibitnya. Tinggal tunggu masa tanam,” bebernya.

Umumnya petani setempat banyak menanami komoditas hortikultura, seperti kelapa, kedelai, bengkoang, dan ubi jalar.

Gabung GEMPITA

Karena mayoritas lahannya seluas 100 ha belum tergarap, Burhan kini bergabung di Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita).

Gempita merupakan sebuah kelompok gerakan yang beranggotakan para pemuda dan diinisiasi Menteri Amran, guna mendorong produktivitas di sektor pertanian dengan melibatkan peran aktif generasi muda.

“Saya ingin bekerja sama dengan Gempita. Maksimal 90 hektare dikelola,” ucap Burhan. Sedangkan 10 ha sisanya ingin digarapnya sendiri.

Dengan menggandeng Gempita, dirinya berharap ongkos produksi dapat ditekan, produktivitas meningkat. Pasalnya, hingga kini banyak persoalan yang belum bisa dilakukannya, kalau bekerja sendiri.

Misal, kekurangan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola lahan, keterbatasan biaya, mahalnya harga pupuk, serta keterbatasan alat dan mesin pertanian (alsintan) modern yang dimilikinya.

“Kan sekarang banyak traktor-traktor, kita bisa sharing dengan kelompok tani. Kalau enggak pakai traktor susah tanam jagung, karena banyak akar, batang pohon,” paparnya.(p/ma)